World's Strongest Bank
Menu

Anda berada di Indonesia


Wealth Panel

Jajaran panelis terpercaya yang menyediakan informasi pasar modal terkini untuk membantu Anda mengelola investasi. Pelajari Lebih Lanjut.

Responsive image

Eli Lee

Head of Investment Strategy

Bank of Singapore

Eli Lee

Head of Invesment Strategy

Bank of Singapore

Eli Lee adalah Head of Investment Strategy di Bank of Singapore, dimana beliau memiliki peran penting dalam perencanaan alokasi aset dan pengembangan strategi untuk aset-aset global Bank of Singapore.

Responsive image

Juky Mariska

Wealth Management Head

OCBC NISP Bank

Juky Mariska

Wealth Management Head

OCBC NISP Bank

Juky Mariska bergabung dengan OCBC NISP sejak tahun 2014 dan kini menjabat sebagai Executive Vice President, Wealth Management Head.

Responsive image

Vesu Menon

Head of C&R Wealth

Management Singapore

Vesu Menon

Head of C&R Wealth

Management Singapore

Vasu Menon memiliki lebih dari 30 tahun pengalaman di dunia investasi dan wealth management.

Responsive image

Marc van de Walle

Head, Group Wealth Management

OCBC Bank Chairman

Marc van de Walle

Head, Group Wealth Management

OCBC Bank Chairman

Marc adalah orang yang bertanggung jawab atas strategi investasi, riset, manajemen portofolio, rekomendasi transaksi, perencanaan kekayaan, dan jasa perwalian untuk Bank OCBC.

Market Outlook

Informasi dan Ulasan Analisa Pasar Terkini untuk mendapatkan ulasan pasar secara lengkap silahakan menghubungi Premier Banking Manager Anda.

Indonesia Outlook

Memasuki bulan ketiga di tahun 2020, topik global masih diliputi oleh Covid-19 yang berasal dari Wuhan, China. Sejalan dengan ekspektasi pertumbuhan yang lebih rendah oleh OECD, yang baru-baru ini merevisi pertumbuhan global dari 2.5% ke 2.0%, bank sentral global telah mengambil tindakan masing-masing, baik dari kebijakan fiskal atau moneter, atau keduanya. Mayoritas bursa saham Wall Street membukukan pelemahan yang signifikan, dipimpin oleh indeks Dow Jones yang melemah 10%, diikuti oleh S&P500 sekitar 8%, dan NASDAQ sekitar 6%. Gagasan akan “flight to safety” oleh investor terlihat jelas, seiring dengan imbal hasil surat utang 10 tahun AS yang mengalami pelemahan terdalam sejak krisis keuangan 2008, jatuh lebih dari 20% dalam sebulan, dari 1.50% menjadi 1.15%, dan berlanjut ke level 0.5%-06% di minggu pertama bulan Maret. Aset safe haven lainnya seperti Japanese Yen dan Swiss Franc juga mengalami permintaan tinggi, namun emas tetap menjadi aset safe haven pilihan, dan berada di level $1,600/ons, yang terakhir terlihat di tahun 2013, dan menuju $1,700/ons pada minggu pertama di bulan Maret.

Negara-negara di Zona Eropa juga sedang diterpa oleh peningkatan kasus virus Corona yang mulai muncul di beberapa negara, dan juga di Timur Tengah. Penyebaran virus yang cukup pesat datang dari Lombardy, Italia, selama sebulan terakhir ini. Ketidakpastian yang dialami oleh para investor Eropa adalah hubungan perdagangan antara Inggris dan Uni Eropa. Perdana Menteri Boris Johnson telah memberikan peringatan pada Dewan Eropa, untuk meminta perjanjian perdagangan yang serupa dengan Kanada, yang akan membebaskan 98% dari tarif ekspor terhadap UE; dengan tenggat waktu yang singkat, pertengahan Juni tahun ini. Para investor global juga dikejutkan dengan penurunan minyak WTI sebesar 25%-30% setelah Rusia menolak upaya Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya untuk memangkas produksi minyak, sebanyak 1.5 juta barel per hari, untuk menstabilkan pasar.

Melihat Asia, indeks MSCI APAC Ex-Japan mencatatkan pelemahan sebesar 2.91% bulan lalu. Bank Sentral Asia lebih condong pada pelonggaran kebijakan fiskal karena pelonggaran kebijakan moneter yang sudah cukup di 2019. Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh beberapa bank sentral seperti Hong Kong, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Produktivitas China sudah kembali meningkat sekitar 80%-90% sampai saat ini, kapasitas hampir berjalan penuh setelah ada jeda di semua kegiatan di bulan Januari; dan saat ini merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang telah menunjukkan kondisi yang membaik, mengenai pengobatan dan penanganan Covid-19. Korea Selatan juga telah menunjukkan sedikit perbaikan, dalam hal kasus baru virus Corona, lebih baik dari Italia saat ini.

Dari dalam negeri, pasar modal telah mencatatkan pelemahan yang lebih dalam dibandingkan bulan lalu karena beberapa faktor. Masalah dalam lembaga keuangan milik negara dan swasta menjadi katalis yang membebani pasar modal secara keseluruhan. Selain itu, penyebaran Covid-19, terutama di Asia berada pada tingkat yang mengkhawatirkan, dimana Indonesia mencatatkan kasus pertama pada akhir bulan lalu. Oleh karena itu, belum ada katalis positif yang mendorong pasar modal untuk mencatatkan penguatan di lingkungan investasi yang tidak mendukung ini. Bank sentral telah memangkas suku bunga sebanyak 25bps menjadi 4.75% untuk membantu perekonomian yang sedang tertekan, serupa dengan yang dilakukan oleh Bank Sentral Asia lainnya. PDB Q419 cukup stagnan, hanya sedikit lebih rendah pada di level 4.97%, turun dari 5.02% di Q319, namun masih berhasil mencatat pertumbuhan di 5.03% untuk setahun penuh di 2019. Untuk inflasi, konsumsi dalam negeri yang kuat telah membantu peningkatan dari 2.68% pada bulan Januari menjadi 2.98% pada bulan Februari; sejalan dengan target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Ditengah ketidakpastian ini, bank sentral telah menggelontorkan kebijakan fiskal sebesar IDR 10 triliun untuk membantu perekonomian domestik.

Pasar Saham

Pasar saham mengalami tekanan pada bulan kedua di 2020, mencatatkan penurunan tajam sebesar 8.2%, dari level 5,940 ke level 5,450 di akhir bulan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pasar saham domestik menunjukkan kinerja yang lebih buruk dari beberapa negara tetangga lainnya yang memiliki lebih banyak kasus Covid-19 seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Pelemahan JCI sendiri didorong oleh sektor industri dasar & kimia, agrikultur, konsumsi; yang mencatatkan pelemahan dua digit. Kekhawatiran akan virus Corona telah memberatkan kinerja pasar saham domestic, dan seiring dengan melemahnya permintaan global, negara-negara tersebut sangat bergantung pada ekspor yang merupakan bagian dari PDB, terutama negara yang bukan merupakan negara berkembang yang berorientasi pada ekspor akan tertekan. Selain itu, Indonesia telah dikeluarkan oleh Amerika Serikat dari daftar negara berkembang, bersama dengan China dan India, juga turut mengurangi daya tarik pasar ekuitas kami.

Dua bulan pertama di 2020 bisa dikatakan cukup baik dengan arus asing yang keluar di bawah IDR 5 triliun. Untuk kedepannya, dengan meredanya ketidakpastian dan penanganan Covid-19 yang semakin efektif, fokus investor akan kembali ke fundamental, atau dengan kata lain, valuasi. JCI saat ini diperdagangkan pada PER 12x-13x yang relatif lebih rendah daripada rata-rata 10 tahun sekitar 15x. Ini telah menjadi tulang punggung argumen untuk penilaian investor di negara berkembang, terutama di Asia. Selain itu, memasuki H220, "Omnibus Law" akan segera diimplementasikan, yang dapat menjadi euforia bagi investor, karena pemerintah akan mulai mengatasi masalah penciptaan lapangan kerja, perpajakan, dan investasi asing. Oleh karena itu, kami telah merevisi proyeksi kami untuk 2020. Skenario kami untuk JCI adalah akan menutup 2020 di kisaran 6.000-6.200, seiring dengan proyeksi pertumbuhan pendapatan yang direvisi turun lebih rendah, dengan kemungkinan kecil akan pertumbuhan negatif untuk beberapa sektor yang tertekan karena ketidakpastian saat ini.

Pasar Obligasi

Pasar obligasi mengalami reaksi yang berbeda dengan pasar saham, cukup berfluktuatif dimana pada tiga minggu pertama bulan Februari mencatatkan penguatan, namun tingkat imbal hasil tenor 10 tahun meningkat pada pekan terakhir di akhir bulan, dari level 6.50% ke level 6.95%, dan kembali ke level 6.55% di tiga hari pertama bulan Maret. Volatilitas didorong oleh kecemasan investor domestik karena pasar ekuitas yang mengalami tekanan. Dana asing yang keluar dari pasar obligasi lebih besar dibandingkan pasar ekuitas, yaitu sebesar IDR 15 triliun pada bulan Januari dan Februari, dan IDR 15.8 triliun di minggu pertama bulan Maret. Sebagai obligasi negara berkembang, obligasi pemerintah dikategorikan sebagai aset yang berisiko, dan sentiment risk off membuat para investor melepas obligasi. Meskipun demikian, bank sentral sendiri telah membuktikan komitmennya dalam menjaga pasar obligasi, lewat operasi pasar terbuka dan intervensi, ditengah ketidakpastian global dan domestik. Ditambah lagi, pasar obligasi masih akan didukung oleh pemotongan suku bunga oleh bank sentral dan apresiasi dari mata uang domestik, karena ketakutan akan virus yang mulai menguap. Kami mempertahankan pandangan kami sebelumnya untuk imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun di level 6.2%-6.3% pada akhir 2020, dan saat ini tetap menjadi kelas aset pilihan kami. Volatilitas akan tetap ada, setidaknya untuk semester pertama tahun ini, dengan level 7.2% menjadi batas level atas.

Mata Uang

Mata uang rupiah mengalami pelemahan sebanyak 4.63% terhadap mata uang USD. Pelemahan terjadi disaat permintaan akan asset safe heaven meningkat. Diantara negara Asian lain nya, performance mata uang rupiah merupakan yang terburuk terhadap mata uang USD, dan berada dibelakan mata uang Dolar Singapura dan Ringgit Malaysia. Kurang nya support dari domestik juga menjadi faktor yang membebani pergerakan Rupiah, disaat permasalahan pada beberapa Lembaga keuangan dan juga penyebaran dari virus Corona mendominasi sentimen sejak awal tahun, usaha pemerintah untuk menenangkan pasar dinilai gagal. Namun memang, pelemahan Rupiah tidak dapat dihindari.

Kami melihat pergerakan Rupiah akan ada diantara 14,300 – 14,700. Tekanan terhadap Rupiah masih akan tetap tinggi, seiring permintaan terhadap mata uang USD tetap tinggi, terutama disaat situasi penyebaran virus Corona di Amerika Serikat terus meningkat.

Global Outlook

Dampak dari Virus

“Dampak Covid-19 terhadap China terlihat jelas; Asia juga terkena dampak, namun dukungan kebijakan akan membantu pertumbuhan.” – Eli Lee

Kunci dari dampak Covid-19 terhadap perekonomian adalah seberapa virus ini akan berlangsung, dan seberapa luas akan menyebar. Hal-hal ini masih belum diketahui.

Bahkan respon kebijakan dari bank sentral global dan pemerintah, seiring dengan virus yang akan menyebar, kami mengekspektasi near-recession growth pada kuarter kedua dan ketiga tahun ini, sebelum adanya perbaikan di akhir 2020 dan sesudahnya. Skenario kami adalah wabah virus ini tidak akan mengganggu perekonomian dalam jangka panjang.

Amerika Serikat

Ketahanan ekonomi domestik terbukti di tahun 2019. Penularan Covid-19 seharusnya akan lebih tidak menganggu dibandingkan perang tarif. Permintaan yang tinggi dari domestik didorong oleh tenaga kerja, walaupun dengan tingkat pengangguran berada di tingkat terendah dalam 50 tahun terakhir, hal ini akan lebih sulit untuk mempertahankan rata-rata pekerkaan bulanan diatas 200,000.

Bank Sentral AS secara mendadak melakukan pemangkasan suku bunga sebesar 50 bps di awal Maret karena wabah virus ini. Jika wabah dan perekonomian menurun dengan tajam dalam beberapa minggu kedepan, The Fed dapat memangkas suku bunga lagi. Tingkat inflasi tetap tercatat dengan level yang rendah, yang memberikan The Fed kebebasan untuk memangkas suku bunga kedepannya jika Covid-19 menghambat jalannya pertumbuhan. Untuk Pemilu di AS, terlihat bahwa tidak mungkin salah satu partai akan cukup dominan untuk melakukan perubahan yang signifikan seperti perpajakan, kesehatan, atau belanja infrastruktur. Dampak dari perdagangan dan kebijakan luar negri akan lebih dilihat.

Eropa

Rilis data baru-baru ini menunjukkan bahwa perekonomian Eropa sedang menghadapi perbaikan yang moderat, bukan perbaikan V-shaped. Kebijakan di tahun 2019 diganti oleh Bank Sentral Eropa bersama dengan kebijakan fiskal yang longgar di beberapa negara perekonomian utama, seharusnya dapat memberikan aktivitas yang lebih tepat untuk tahun kedepan, namun pertumbuhan yang rendah mengartikan bahwa wilayah masih rentan dengan keadaan eksternal.

Stabilitas politik masih menjadi perhatian, terlihat dari pemilu yang baru terjadi di Irlandia dan Italia. Jerman mungkin menjadi kasus yang menarik di tahun ini, dimana perlombaan untuk menggantikan Angela Merkel dapat menimbulkan perdebatan dalam prioritas kebijakan fiskal.

Indikasi awal adalah hal ini akan sulit bagi Inggris untuk mencapai kesepakatan dengan Uni Eropa untuk hubungan perdagangan kedepan. Ini akan menjadi perhatian seiring dengan perkembangan yang berlangsung, namun sebagian akan diimbangi dengan kebijakan fiskal yang longgar setelah periode minimnya kebijakan.

Jepang

PDB Jepang melemah tajam di Q419 setelah kenaikan pajak penjualan dan topan besar, namun hal ini terlihat pelemahan dalam jangka pendek di keadaan yang volatile. Tambahan kebijakan fiskal yang diumumkan akhir tahun lalu seharusnya dapt mendukung pertumbuhan di 2020.

China menyumbang 30% dari turis di Jepang, walaupun pendapatan pariwisata hanyalah 1% dari PDB. Bagaimanapun, digabungkan dengan demografi lansia, menujukkan kerentanan yang tinggi terhadap virus Covid-19. Keprihatinan yang lebih berlanjut adalah sistem yang tidak fleksibel, dapat menjadi penghalang untuk respon yang cepat, seperti yang telah terjadi di masa lalu.

China

Pandangan untuk kedepan sangat tidak pasti, namun reaksi akan epidemi Covid-19 ini akan memberikan hasil yang permanen terhadap aktivitas, daripada gangguan sementara terhadap gangguan rantai pasokan yang terlihat di negara maju.

Kami secara tentatif telah men-downgrade pandangan di 2020 sebesar 0.6ppts ke 5.2% dan dampak yang lebih besar akan mengarah pada perkiraan pemangkasan pertumbuhan global dari 3.3% menjadi 3.1%.

Negara Berkembang

Institusi yang lemah dan sitem kesehatan yang kurang berkembang mengartikan bahwa negara berkembang lebih rentan terhadap ancaman dari Covid-19. Di sebagian besar Asia, potensi untuk perpindahan terlihat signifikan, dengan tingkat pertukaran yang tinggi antara wilayah dan China. Akan tetapi, pembelian akan sektor jasa – daerah yang paling berisiko – adalah bagian yang lebih kecil dari seluruh pengeluaran daripada di pasar negara maju. Seperti halnya perang dagang, beberapa negara di Asia akan mengalami tekanan pada produksi regional, sementara bagian lainnya akan mendapatkan keuntungan dari aktivitas yang dialihkan. Ini seharusnya menjadi gangguan jangka pendek, bukan dampak jangka panjang pada pertumbuhan.

Secara umum, negara berkembang akan mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang fleksibel dibanding perekonomian negara maju. Tingkat pertumbuhan mendasar yang lebih kuat diartikan pada tingkat suku bunga yang lebih tinggi, yang memberikan ruang untuk pemangkasan jika dibutuhkan. Posisi fiskal bervariasi, namun beberapa negara memiliki potensi untuk respon jangka pendek terhadap gangguan yang berhubungan dengan virus. Awal dari respon kebijakan sudah jelas di Asia.

Pasar Saham

Berubah menjadi netral

“Dengan adanya ketidakpastian yang baru, kami telah mengurangi risiko secara keseluruhan terhadap pasar saham dengan menurunkan posisi menjadi netral, dan dari overweight menjadi netral untuk saham Eropa. ” – Eli Lee

Keraguan kami sebelumnya untuk tidak membeli saham disaat harga turun merupakan langkah yang tepat, seiring dengan pelemahan yang tajam pada pasar saham global akibat kekhawatiran para investor atas dampak virus Corona terhadap pertumbuhan ekonomi global. Dengan adanya beberapa ketidakpastian baru, probabilitas untuk pemulihan secara instan akan relatif lebih rendah. Maka dari itu, kami telah mengurangi risiko dengan menurunkan posisi di pasar saham secara keseluruhan menjadi netral, dengan penurunan terhadap bobot saham Eropa dari overweight menjadi netral. Dari segi sektoral, kami menurunkan porsi barang-barang konsumsi sekunder dan Utilitas, dan menaikkan porsi di sektor properti.

Posisi netral kami di pasar saham juga mencerminkan kehati-hatian kami dengan kondisi saat ini; kami percaya bahwa saat ini masih terlalu cepat untuk masuk ke pasar saham. Kami percaya bahwa wabah virus Corona tidak akan menggangu ekspansi ekonomi jangka panjang. Dengan penyebaran virus Corona terus meningkat, para investor seharusnya menjauh dari area yang berbahaya, seperti industri pariwisata, perhotelan, F&B, ritel dan hiburan. Seiring dengan turunnya tingkat suku bunga global, para pelaku pasar akan mencari alternatif investasi yang memberikan imbal hasil tinggi di pasar.

Rekomendasi kami adalah untuk memindahkan aset berkualitas rendah ke aset berkualitas yang memberikan dividen yang menarik, seperti produk REIT Singapore. Tidak hanya itu, para pelaku pasar juga harus terus mencari peluang untuk mengalokasikan aset terhadap korporasi yang memiliki fundamental jangka panjang yang solid, dan tidak terlalu terpengaruhi oleh wabah virus Corona.

Amerika Serikat

Gangguan terhadap rantai pasokan jangka pendek akibat Covid-19 sudah terlihat jelas dengan perusahaan seperti Apple dan Microsoft yang sudah menurunkan proyeksi pertumbuhan laba mereka; dengan beberapa perusahaan lain juga akan melakukan hal yang sama.

Namun, kami percaya bahwa pasar masih akan tetap mendapatkan support dalam jangka panjang dikarenakan beberapa hal. Dari perspektif kami, pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral global akan bergerak seiring dengan meningkatnya kasus infeksi virus Corona di Amerika Serikat.

Eropa

Awalnya, fokus para pelaku pasar tertuju pada sektor-sektor di Eropa yang paling terpukul oleh perlambatan ekonomi China akibat Covid-19, dan tercatat bahwa 10% pemasukan dari total korporasi yang terdaftar di Euro Stoxx50 itu datang dari China. Kami tetap berhati-hati terhadap sektor-sektor yang memiliki eksposur tinggi terhadap China, seperti barang luxury ritel, sumber daya dasar, dan otomotif. Tingkat penjualan di sektor luxury ritel di China saat ini tidak mencerminkan tingkat aslinya, karena tidak menghitung pembelanjaan warga negara China diluar China.

Akan tetapi, apa yang menjadi kendala bagi China dan juga negara yang berhubungan dari segi rantai pasokan dan pariwisata, saat ini menjadi semakin tinggi akibat penyebaran virus Corona yang semakin tersebar. Terlihat bahwa penanganan wabah oleh negara berkembang juga masih di tahap awal, tensi antar ekonomi juga masih akan tinggi, sehingga akan membebani pasar saham global, setidaknya sampai penambahan likuiditas oleh para bank sentral mulai terasa.

Jepang

Pasar saham Jepang tidak akan bergerak terlalu signifikan dalam jangka pendek, akibat beberapa ketidakpastian seperti rilisan data ekonomi yang lemah, sehingga meningkatkan kekhawatiran atas dampak virus Corona terhadap ekonomi Jepang dan global, dan juga hasil laporan laba korporasi Q419 yang cukup lunak. Produk Domestik Bruto (PDB) untuk kuartal terakhir 2019 terlihat terkontraksi di level 6.3% secara tahunan dibandingkan tahun sebelumnya. Perlambatan tersebut merupakan perlambatan terdalam dalam lima tahun terakhir dan mencerminkan dampak awal dari wabah virus Corona itu sendiri. Momentum pertumbuhan jangka pendek dan juga pemulihan terhadap laba korporasi seharusnya akan tetap tertekan, akibat sektor pariwisata yang lemah, gangguan terhadap rantai pasokan, khususnya bagi sektor-sektor seperti alat listrik, mesin, bahan baku dan kimia.

Asia ex-Jepang

Melonjaknya kasus Covid-19 di Korea Selatan dan juga anjlok nya angka manufakur PMI dari China ke level 35.7 untuk bulan Februari telah meningkatkan kekhawatiran pasar atas dampak Covid-19.

Selain itu, isu politik dan juga kebijakan fiskal belakangan juga menjadi sorotan para pelaku pasar. Ketidakpastian politik di Malaysia dan juga aksi unjuk rasa di New Delhi dapat membebani keputusan berinvestasi. Dari segi kebijakan, Singapore telah menyatakan rencana ekspansi 2020 dengan budget fiskal senilai S$10.9 miliar untuk menopang ekonomi; di Indonesia, RUU Omnibus Law juga telah diajukan ke DPR dengan tujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas dan juga menarik investasi ke dalam Indonesia.

Musim laporan keuangan korporasi juga masih akan berlanjut di bulan Maret, dan pandangan dari korporasi tersebut untuk kedepannya akan menjadi sangat penting, bahkan lebih penting dibandingkan hasil laporan keuangan itu sendiri. Seiring dengan ekspektasi kami bahwa para korporasi akan memangkas proyeksi pertumbuhan laba, pasar juga akan merespon dengan volatilitas yang tinggi.

China / Hong Kong

Kami percaya bahwa target pertumbuhan ekonomi China akan terhambat namun tidak akan berubah akibat Covid-19. Namun, memang dampak nya terhadap kinerja aktivitas di China akan lebih besar dibandingkan SARS. Pemerintah saat ini terus meningkatkan likuiditas pasar secara proaktif dan juga telah menurunkan suku bunga untuk memitigasi dampak negatif Covid-19 terhadap ekonomi dan terlihat akan terus berlanjut untuk beberapa kuartal kedepan.

Obligasi

Krisis Apa?

“Berbagai bentuk dukungan pemerintah termasuk dukungan dari bank sentral secara global dan pengaturan kebijakan fiskal yang akomodatif, seharusnya memberikan dukungan struktural untuk kinerja kredit . ” – Vasu Menon

Sementara pasar ekuitas mengalami aksi jual pada bulan Februari karena krisis Covid-19, sebagian besar pasar obligasi berlawanan arah terhadap tren yang ada dan membukukan keuntungan. Kredit EM bertumbuh 1.8%. Dalam hal penurunan, obligasi EM IG bertumbuh +2.7% lebih baik dari obligasi EM HY yang hanya bertumbuh +0.4%, didukung oleh kenaikan pada imbal hasil US Treasuries.

Performa kredit DM relatif lebih lemah, dengan US IG yang naik 1.3% dan US HY turun 1.5%, diakhiri dengan rekor rendah dengan imbal hasil 2.5%.

Dukungan kebijakan bagi pasar obligasi

Kebijakan moneter yang akomodatif dan proaktif telah menopang kinerja di pasar pendapatan tetap selama satu dekade terakhir, dan di tahun 2019 dibuktikan tidak terkecuali ketika bank-bank sentral global memberikan lebih dari 2.500 basis poin dari penurunan suku bunga rata-rata. Kami percaya kebijakan akomodatif ini akan berlanjut pada tahun 2020 dengan bank sentral siap untuk mendukung stabilitas ekonomi melalui suku bunga rendah dan likuiditas yang cukup jika ancaman Covid-19 meningkat. Federal Reserve dengan pemangkasan suku bunga di awal Maret sebesar 50 bps, dan dapat memangkas suku bunga lebih lanjut. Bank sentral lain kemungkinan akan mengambil petunjuk Federal Reserve.

Asia memberikan kinerja yang baik

Asia merupakan kinerja terbaik tahun ini, naik 2,6% (dengan China naik 2,7%) dengan investor tampaknya lebih nyaman dengan tingkat dan dampak infeksi Covid-19 daripada di wilayah lain. Amerika Latin telah menjadi performer terbaik untuk sebagian besar tahun ini tetapi telah kehilangan momentum dan sekarang naik hanya 1,5%.

Mempertahankan preferensi untuk Asia HY

Obligasi dolar negara Asia telah bertahan relatif baik, dengan spread melebar sekitar 21 bps; China melebar dengan 17 bps lebih rendah meskipun penularan Covid-19 selama Februari. Kami memperkirakan sentimen yang lemah akan berlanjut dalam jangka pendek, tetapi kami konstruktif terhadap segmen properti HY China di Asia dalam jangka menengah. Yang penting, kami mengamati bahwa situasi Covid-19 telah menyebabkan beberapa pengembang menerbitkan notes jangka pendek untuk menopang likuiditas ditengah ketidakpastian. Kami melihat tindakan ini sebagai kredit positif meskipun ini dapat meningkatkan leverage untuk sementara waktu.

Melihat historis ke belakang, obligasi HY China memberikan kisaran 134 bps dengan imbal hasil lebih tinggi darpada HY LATAM dan 174 bps lebih tinggi dibandingkan HY Indonesia pada 21 Februari 2020.

Mempertahankan tingkat overweight pada HY

Kami mempertahankan sikap overweight pada EM HY dan sikap netral pada EM IG. Preferensi kami untuk HY sebagian besar didorong oleh valuasi yang lebih menarik terhadap kredit AS, maupun tingkat perdagangan historis.

Ekonomi AS dan pemilu sebagai kunci di 2020

Sudah pasti tidak ada kekurangan berita utama terkait geopolitik dalam beberapa minggu terakhir. Selain itu, infeksi Covid-19 telah menambah potensi "pandemi" pada risiko pasar. Namun, kami berekspektasi bahwa pada akhirnya ekonomi AS dan pemilihan presiden AS pada bulan November akan menjadi faktor risiko utama yang dihadapi pasar kredit pada tahun 2020.

FX & Commodities

Naiknya hanya emas karena kekhawatiran pasar

“Kami masih mempertahankan pandangan positif terhadap emas untuk jangka menengah, dan menaikkan target harga kami ke USD$1700/oz. Emas masih menjadi aset safe-haven yang diminati investor, seiring dengan ekonomi yang berada di tahap akhir dan kekhawatiran pasar atas virus Corona yang akan masih menopang harga emas. ” – Vasu Menon

Minyak

Harga minyak masih akan tertekan untuk waktu dekat ini walaupun OPEC seharusnya akan dapat memitigasi penurunan harga minyak. Harga minyak yang rendah dapat memicu perusahaan minyak di AS untuk membatasi produksi, sehingga akan dapat menopang pergerakan harga minyak. Sementara itu, pemadaman di Libya seharusnya juga akan dapat menopang permintaan minyak yang turun akibat Covid-19.

Emas

Kami menaikkan target harga Emas untuk 12 bulan kedepan menjadi USD$1700/oz untuk 2 hal; yang pertama adalah karena ketidakpastian dari penyebaran virus Corona, sehingga pasar harus lebih mempertimbangkan lebih banyak faktor terhadap pergerakan harga aset seiring dengan perkembangan virus Corona yang belum menunjukkan sisi positif. Yang kedua adalah factor politik AS yaitu pemilu yang akan diadakan dalam 9 bulan. Dengan potensi paling tinggi untuk menjadi wakil partai democrat saat ini adalah Bernie Sanders, kekhawatiran pasar atas kebijakan-kebijakan Sanders akan lebih lagi membebani pasar saham, namun menguntungkan harga emas.

Outlook untuk saat ini

Kekhawatiran pasar yang cukup tinggi atas virus Covid-19 telah memicu para pelaku pasar untuk risk-off dan meningkatkan ekspektasi bahwa The Fed akan kembali memangkas suku bunga acuan dalam waktu dekat. Kedua hal tersebut saat ini merupakan katalis pasar valas.

Saat ini kami melihat gelombang kedua penyebaran Covid-19 yang terlihat memasuki banyak negara baru. Hal tersebut telah mendorong turun permintaan atas aset berisiko ke level rendah yang baru. Investor saat ini cenderung lebih menyukai aset berisiko rendah. Mata uang Australia dan New Zealand akan sangat terpukul, seiring dengan penanganan di kawasan Asia yang terlihat kurang efektif.

Japanese Yen telah kembali mem validasi status nya sebagai sebuah mata uang safe-haven, sehingga potensi pelemahan untuk mata uang USD/JPY akan lebih tinggi dan mata uang lain yang berbasis JPY.

Fokus para investor akan tertuju pada para bank sentral, terutama The Fed, untuk kembali memangkas suku bunga acuan demi menopang pertumbuhan ekonomi global. Jika penyebaran Covid-19 di Amerika Serikat semakin memburuk, probabilitas untuk pemangkasan suku bunga oleh The Fed akan meningkat.

Probabilitas yang meningkat untuk The Fed kembali memangkas suku bunga acuan, dan juga imbal hasil obligasi pemerintah jangka panjang yang semakin rendah telah menurunkan ke atraktifan mata uang USD sebagai sebuah aset safe haven. Ekspektasi kami adalah untuk USD melemah terhadap mata uang utama seperti Euro dan Yen. Namun, melihat kedepan, kami percaya bahwa cepat atau lambat, USD masih akan tetap menjadi aset safe-haven pilihan.

Di Asia, walaupun USD telah melemah terhadap mata uang Asia lainnya, pelemahan terlihat cukup minim, akibat sentiment risk-off dan dampak negatif virus Covid-19 terhadap pasar Asia yang masih membebankan mata uang negara-negara nya. Selain itu, keluarnya modal dari pasar Asia juga menjadi sebuah risiko bagi mata uang nya.